This is(not) Weekend

Thursday, May 17, 2012

Kamis-Jum’at-Sabtu-Minggu
17-18-19-20 Mei 2012
Yeay, what a very very very looooonnnggg weekend! :D

Kemarin (16/5) saya lebih bersemangat menjalani hari. Meskipun kemarin adalah deadline pengumpulan tugas beberapa mata kuliah dan ada post-test juga (yang materinya belum saya ngerti -,-a), tapi tetap saja saya begitu semangat menyambut dan menjalani hari Rabu. Kenapa? Karena saya tahu esoknya (hari ini-red) libur panjaaaaang, hahahahaha *bahagia amat -____-“*. Seinget saya, terhitung sejak dimulainya semester dua, saya belum pernah merasakan libur *hah?*. Libur yang sebenar-benarnya libur lho. Libur yang memberi saya waktu untuk menikmati hari dengan sekedar bermalas-malasan di kosan, atau untuk menonton film-film yang sudah saya koleksi di laptop *memang hanya menjadi koleksi karena saya belum sempat menontonnya*, atau untuk sekedar nggak ke kampus :p. Yap, sepertinya yang terakhir nih yang paling “greget”. Kalo saya melihat ke belakang, sepertinya hampir setiap hari saya “bermain” di kampus tercinta. Nggak peduli hari itu saya nggak ada jadwal kuliah, nggak peduli hari itu libur nasional atau libur internasional,  nggak peduli hari itu tanggal hitam, tanggal hijau, tanggal merah,tanggal biru *emang ada ya?*, pokoknya selalu ada hal yang mem-pending rencana santai saya dan mengharuskan saya untuk datang ke kampus. Huaaaaaaaa……..
#curhat
*ya itu sih derita elo :p

Libur, menurut definisi dan pendapat kebanyakan orang *hasyah*, berarti cuti sejenak dari segala rutinitas dan melakukan refreshing activities di luar rutinitas. Memang sih hari ini dan besok tak ada perkuliahan seperti biasa, tapi tetap saja nanti jam 9 saya harus ke kampus, mengurus problematika umat *guayyaaaa*. Hehe. Kuliah tamu statistika dimana saya diamanahkan di divisi acara, H-2 pula, memaksa saya harus ikhlas menghapus kata “libur” dari pikiran, hiks. Hmmmm. Berarti Allah begitu menyayangi saya dengan selalu menyibukkan saya sehingga insya Allah saya tak sempat melakukan hal yang sia-sia =)

Oh iya, setiap weekend atau libur 2-3 hari juga biasanya dimanfaatkan oleh teman-teman saya yang berasal dari Jatim atau Jogja atau Jateng atau reasonable hometown lainnya untuk pulang ke kampung halaman, menikmati hangatnya berada di tengah keluarga tercinta. Weh. Rasanya gimana gitu mendengar kata “pulang”, hahaha. Sering saya merindukan kebersamaan dengan keluarga; sarapan pagi sambil nonton tivi, nganterin dan jemput adek ke sekolah, nemenin mama belanja, bantuin mama masak *yakin? :p*, nonton dan mengomentari acara di tivi, makan di luar bersama-sama, curhat, even just berebut tivi/laptop sama aa dan ade -_____-a. Huaaaaaaaa. Dua minggu saat libur semester kemarin sepertinya belum saya manfaatkan dengan baik untuk mereka. Terasa “hilang” justru ketika sudah tak berada di tempat yang sama, tak bisa dengan mudah melakukan hal-hal itu semua. Kalo kata soundtracknya Keluarga Cemara, “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Saya jadi makin memaknainya :)

Kalo melihat dari sisi lain, nggak bisa pulang kampung dalam frekuensi yang sering justru memberi saya kesempatan seluas-luasnya untuk mengikuti kegiatan/acara bagus yang justru biasanya diselenggarakan saat weekend atau bahkan saat long weekend, seperti seminar dan pelatihan. Selain itu, saya pun bisa fokus menjalani kehidupan di sini. Dan kalo saya pikir-pikir, rasa rindu bagi yang sering pulkam dan yang cuma bisa satu semester atau bahkan satu tahun sekali pulkam pasti beda. Pasti lebih menggebu. Setiap kepulangan adalah “sesuatu” sehingga terasa istimewa dan terasa lebih gimanaaaa gitu. Hehehe. Yang jelas, saya sih merasa seperti itu. Nggak iri kok sama yang bisa sering pulkam. Itu justru jadi tantangan bagi saya untuk membuat keberadaan saya di sini jauh lebih bermakna =)

Okelah, sekian curhatan dari saya. Mau siap-siap rapat nih, haha.
Semangat mengisi liburan dengan hal-hal positif dan berguna! Happy weekend semua! ^_^

Mengetuk Pintu Paksa

Friday, May 11, 2012

Saat aku lelah menulis dan membaca
Di atas buku-buku kuletakkan kepala
Dan saat pipiku menyentuh sampulnya
Hatiku tersengat
Kewajibanku masih berjebah
Bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?
-Imam An-Nawawi-

Prolog postingan kali ini saya ambil dari buku “Jalan Cinta Para Pejuang” karya Salim A. Fillah. Sebelum membaca bukunya secara utuh, saya sempatkan untuk melihat-lihat konten isinya pada daftar isi. Salah satu subbab, Mengetuk Pintu Paksa, mampu memikat saya untuk membacanya terlebih dahulu meskipun ia berada di bab urutan ke-sekian. Tak apalah, yang penting pada akhirnya saya membaca bab yang lain juga :p

Paksaan… mungkin suatu kata dan perbuatan yang sebisa mungkin dihindari. Namun tak ada salahnya mencoba untuk memaknainya secara positif. Mungkin paksaan tersebut bertujuan tak baik sehingga ‘yang dipaksa’ tak akan sudi untuk menjalani. Mungkin juga paksaan tersebut bertujuan baik, namun ‘yang dipaksa’ masih belum mengerti. Atau mungkin cara memaksanya yang kurang baik, sehingga meskipun tujuan paksaannya baik, ‘yang dipaksa’ takkan mau untuk mengerti, apalagi menjalani. Kembali ke metode pendekatan yang seharusnya pertama kali dilakukan, yaitu menimbulkan ikatan hati, baru kemudian bisa memaksa (baca : mengajak), juga dengan hati. Seseorang akan lebih mau menerima ajakan dari orang-orang yang mampu menyentuh hatinya.

Beda tipe orang, beda juga cara “memaksanya”. Ada yang mesti dipaksa berkali-kali diiringi suasana tegang yang bikin darah tinggi, barulah dia mengerti, namun belum tentu lekas menjalani. Ada yang cukup dipaksa sekali, kemudian langsung mengerti dan menjalani. Ada yang tanpa dipaksa sebetulnya dia sudah mengerti, tapi entah kenapa belum mau menjalani. Ada yang tanpa harus dipaksa, dia sudah mengerti dan bersedia menjalani. Ada pula yang tak mau dipaksa, tapi enggan untuk mengerti, apalagi menjalani. Hmm, unik. Menarik.

Ternyata memang seseorang itu terkadang butuh dipaksa, terlebih ketika sudah jelas bahwa sebetulnya paksaan itu akan berakibat baik bagi dirinya. Banyak yang awalnya ogah minum obat dengan kepahitan tingkat dewa namun akhirnya luluh dan rela berpahit-pahit ria setelah menyadari bahwa salah satu tujuannya meminum obat adalah untuk menyembuhkan penyakitnya. Banyak yang awalnya ogah bersakit-sakit belajar, namun mau menjalani dan mengikuti prosesnya sampai akhir dengan sabar, hingga mata hatinya terbuka sendiri bahwa banyak kemudahan dan manfaat yang bisa ia ambil setelah proses panjang ini. Banyak yang awalnya ogah berbuat dan menjadi baik, takut dibilang sok alim atau sok suci, namun tetap berproses menjadi baik setelah menyadari bahwa kebaikan-kebaikan yang ia tanam kelak akan kembali ke dirinya sendiri dan menjadi penentu di akhir nanti. Banyak yang awalnya ogah menjadi anak rantau ketika mendengar cerita bahwa dunia di luar sana amat kejam, namun akhirnya rela terpisah jarak dengan orang-orang tercinta ketika menyadari bahwa merekapun rela melepas kepergiannya untuk meraih cita. Banyak wanita yang awalnya ogah menutup aurat, namun akhirnya mendapat hidayah dan ikhlas menjalani dengan semata mengharap ridho Ilahi, juga karena menyadari bahwa terumbarnya keindahan tubuhnya justru bisa membahayakan dirinya sendiri.

Sekali lagi, seseorang itu terkadang butuh dipaksa. Dipaksa oleh orang yang mampu menyentuh hatinya, atau dipaksa oleh lingkungannya. Dipaksa untuk menjadi baik, dan memaksa diri untuk menjadi baik pula. Apalah artinya punya segudang mimpi dan cita jika tak punya keinginan yang kuat untuk mewujudkannya? Apalah gunanya punya keinginan yang kuat hingga menyesakkan rongga dada jika tak kunjung diaktualisasikan dalam gerak nyata? Apalah manfaatnya berharap rezeki datang sambil duduk termangu padahal kita hanya butuh berjalan untuk mendekati dan membuka pintu?


Pada akhirnya hanya ada dua pilihan; memaksa diri untuk mau bergerak dan menggerakkan, atau memaksa diri untuk terus nrimo digerakkan? Kamu pilih yang mana?