A Warmness

Sunday, February 14, 2016



Hujan turun di luar. Setelah berdo’a “Allahumma shayyiban naafi’aan”, saya memanjatkan doa-doa yang sudah sangat Dia pahami. Saya menyendiri di kamar, mencoba melakukan hal yang sudah sekian lama tak saya lakukan : menulis.

Sejak beberapa tahun lalu *lebayyy* saya ingin sekali bercerita tentang ini. Mungkin nggak begitu penting bagi yang membaca. Kalo ada hikmahnya ya Alhamdulillah. Simpel aja sih tujuan nulis ini, yaitu supaya saya nggak seenak jidat melupakan kebaikan, ketulusan, dan kehangatan yang sahabat saya beri.

Ehem. Jadi begini.

Saya sering terenyuh (semacam ada perasaan “nyesss” di hati, kaya lagi naro sebutir tablet effervescent di dalam segelas air) atas kebaikan-kebaikan orang, apalagi yang jelas dilakukan hanya untuk saya. Ini jangan diartikan baper ya. Karena di sini sedang hujan, maka saya ambil contoh tentang “kehangatan”. Ciyeeeeh. Beberapa kali saya merasakan bahwa kehangatan persahabatan itu ada. Nih :

1.       Di kosan Suci-Renny (mereka sekamar). Mungkin ada sekitar 5 kali saya nginep di kosan dua sahabat Statistika A ini demi ngerjakan tugas dan belajar untuk ujian esok hari. Saya lupa ini terjadi ketika semester berapa. Suatu kali saya memilih tidur di bawah (karpet). Saya menolak menggunakan selimut (padahal Malang dingin), alesannya “Aku nggak suka pake selimut. Di rumah atau di kosan juga nggak biasa pake”. Ya sudah. Karena saya lelah, maka saya tetap tidur dengan nyenyak meski hanya ditemani karpet dan bantal. Ketika bangun di waktu subuh, saya mendapati selimut tebal di tubuh saya. Entah Suci atau Renny pasti yang melakukan. Saya benar-benar terkesan atas “kehangatan” persahabatan yang mereka beri. Begitu manis. I really remember the “nyesss” feeling.

2.       Di kontrakan Tazakka (tempat tinggal Rian, sohib saya sesama akhwatraveller). Saya cukup sering menginap di sini karena berbagai hal, entah karena mabit, bahas hal penting, makan-makan, males pulang karena kemaleman, nemenin Rian ketika penghuni lain lagi pada pulang kampung, atau ketika air di kosan saya sedang krisis, haha. Suatu malam, saya tidur di sofa. Sama seperti cerita nomer 1, saya mendapati selimut tebal di tubuh saya ketika bangun. Saya pun kembali merasakan “nyesss”. Lagi-lagi terasa begitu manis dan begitu hangat.

 
3.       Pulang dari gathering FIM Dejapu. Hujan deras di perjalanan saya dari Cibubur ke Terminal Kampung Rambutan. Kak Dini, senior di FIM yang mengantarkan saya, menawarkan meminjamkan jaketnya untuk saya bawa pulang (karena perjalanan saya masih jauh). Saya agak ragu. Waktu itu saya memikirkan bagaimana nanti mengembalikannya (kami jarang ketemu), tapi dia bilang bahwa urusan ngembaliin mah gampang. Ya sudah. Saya pakai jaketnya di perjalanan dari Kampung Rambutan ke Tangerang. Di dalam bis Primajasa yang dingin ber-AC, saya teringat dua momen kehangatan persahabatan di atas sekaligus kembali merasakan “kehangatan persahabatan” dalam wujud yang nyata.



Terima kasih atas kebaikan kalian, wahai Renny, Suci, Rian dan Kak Dini. Kalian pasti nggak menyangka bahwa perihal selimut-jaket ini begitu berarti :”)

Satu hal yang yang saya pelajari : pertolongan yang kita beri mungkin nggak berarti apa-apa bagi kita, tapi bisa jadi itu begitu membekas di hati orang yang menerima.
Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan. Kita nggak tahu amalan mana yang akan mengantarkan kita ke surga, bukan?





Tangerang, 14 Februari 2016.     17:00.