Hujan turun di luar. Setelah berdo’a “Allahumma shayyiban
naafi’aan”, saya memanjatkan doa-doa yang sudah sangat Dia pahami. Saya
menyendiri di kamar, mencoba melakukan hal yang sudah sekian lama tak saya
lakukan : menulis.
Sejak beberapa tahun lalu *lebayyy* saya ingin sekali
bercerita tentang ini. Mungkin nggak begitu penting bagi yang membaca. Kalo ada
hikmahnya ya Alhamdulillah. Simpel aja sih tujuan nulis ini, yaitu supaya saya
nggak seenak jidat melupakan kebaikan, ketulusan, dan kehangatan yang sahabat
saya beri.
Ehem. Jadi begini.
Saya sering terenyuh (semacam ada perasaan “nyesss” di hati,
kaya lagi naro sebutir tablet effervescent di dalam segelas air) atas
kebaikan-kebaikan orang, apalagi yang jelas dilakukan hanya untuk saya. Ini
jangan diartikan baper ya. Karena di sini sedang hujan, maka saya ambil contoh
tentang “kehangatan”. Ciyeeeeh. Beberapa kali saya merasakan bahwa kehangatan
persahabatan itu ada. Nih :
1.
Di kosan Suci-Renny (mereka sekamar). Mungkin
ada sekitar 5 kali saya nginep di kosan dua sahabat Statistika A ini demi
ngerjakan tugas dan belajar untuk ujian esok hari. Saya lupa ini terjadi ketika
semester berapa. Suatu kali saya memilih tidur di bawah (karpet). Saya menolak
menggunakan selimut (padahal Malang dingin), alesannya “Aku nggak suka pake
selimut. Di rumah atau di kosan juga nggak biasa pake”. Ya sudah. Karena saya
lelah, maka saya tetap tidur dengan nyenyak meski hanya ditemani karpet dan
bantal. Ketika bangun di waktu subuh, saya mendapati selimut tebal di tubuh
saya. Entah Suci atau Renny pasti yang melakukan. Saya benar-benar terkesan
atas “kehangatan” persahabatan yang mereka beri. Begitu manis. I really
remember the “nyesss” feeling.
2.
Di kontrakan Tazakka (tempat tinggal Rian, sohib
saya sesama akhwatraveller). Saya cukup sering menginap di sini karena berbagai
hal, entah karena mabit, bahas hal penting, makan-makan, males pulang karena
kemaleman, nemenin Rian ketika penghuni lain lagi pada pulang kampung, atau
ketika air di kosan saya sedang krisis, haha. Suatu malam, saya tidur di sofa.
Sama seperti cerita nomer 1, saya mendapati selimut tebal di tubuh saya ketika
bangun. Saya pun kembali merasakan “nyesss”. Lagi-lagi terasa begitu manis dan
begitu hangat.
3.
Pulang dari gathering FIM Dejapu. Hujan deras di
perjalanan saya dari Cibubur ke Terminal Kampung Rambutan. Kak Dini, senior di
FIM yang mengantarkan saya, menawarkan meminjamkan jaketnya untuk saya bawa
pulang (karena perjalanan saya masih jauh). Saya agak ragu. Waktu itu saya
memikirkan bagaimana nanti mengembalikannya (kami jarang ketemu), tapi dia
bilang bahwa urusan ngembaliin mah gampang. Ya sudah. Saya pakai jaketnya di
perjalanan dari Kampung Rambutan ke Tangerang. Di dalam bis Primajasa yang
dingin ber-AC, saya teringat dua momen kehangatan persahabatan di atas sekaligus
kembali merasakan “kehangatan persahabatan” dalam wujud yang nyata.
Terima kasih atas kebaikan kalian, wahai Renny, Suci, Rian
dan Kak Dini. Kalian pasti nggak menyangka bahwa perihal selimut-jaket ini
begitu berarti :”)
Satu hal yang yang saya pelajari : pertolongan yang kita
beri mungkin nggak berarti apa-apa bagi kita, tapi bisa jadi itu begitu
membekas di hati orang yang menerima.
Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan. Kita nggak tahu
amalan mana yang akan mengantarkan kita ke surga, bukan?
Tangerang, 14 Februari 2016. 17:00.
0 comments:
Post a Comment