Gengsi

Wednesday, February 25, 2015



"Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Al-Baqarah : 224)

Saya pernah mengalami suatu kekecewaan akibat gagalnya rencana jalan-jalan -yang padahal tinggal selangkah lagi dieksekusi. Saya nggak mau menceritakan detailnya seperti apa. Tapi yang jelas, perjalanan waktu itu saya rencanakan bersama beberapa ikhwah yang sama-sama suka travelling, namun akhirnya gagal dikarenakan "konspirasi" beberapa akhwat (ya, sampai sekarang saya masih memandangnya sebagai penyebab utama). Waktu itu saya sangat marah pada ukhti-ukhti itu. Sebagai pelampiasan, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk ke depannya tidak akan mau merencanakan perjalanan ataupun melakukan perjalanan bersama mereka -para akhwat. Mungkin tindakan saya tersebut tampak berlebihan, tapi sungguh saat itu saya merasa sangat sakit hati dan tak mau dikecewakan kembali. Saya pun menyampaikan janji saya tersebut ke beberapa dari mereka. Sebagian tersenyum geli, tanda tidak menganggap bahwa saya serius. Sebagian lagi merasa bersalah, meminta maaf, dan mengajak saya untuk segera jalan-jalan bersama. Di situ gengsi dan keangkuhan saya berada di puncak tertinggi. Forgiving, but not forgetting. Pokoknya saya nggak mau travelling sama akhwat-akhwat itu lagi. Trauma. Titik.

Waktu berlalu. Saya sudah melanglang buana bersama banyak orang. Tentunya bukan bersama mereka yang bersinggungan dengan saya kemarin, sesuai dengan janji saya pada diri saya sendiri, Mereka pun sudah melakukan suatu perjalanan bersama -yang saya tolak ketika saya diajak. Saya ucapkan selamat kepada mereka karena jalan-jalan sudah tak sebatas wacana. Sekali lagi, selamat! Antum hebat, ukh.

Dalam waktu dekat akan ada semacam acara jalan-jalan khusus akhwat yang diorganisir oleh sebuah lembaga. Saya diminta ikut, tepatnya dipaksa ikut. Pastinya akan ada mereka, meskipun akan ada lebih banyak akhwat yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan kekecewaan yang saya alami. Saya masih pada keputusan saya, yaitu nggak akan mau bepergian sama mereka. Sampai beberapa hari yang lalu saya merasa tertampar ketika membaca sepenggal cerita di sebuah buku. Kisah Abu Bakar "ditegur" Allah ketika beliau bersumpah untuk tak membiayai kehidupan salah seorang fakir miskin, Misthah bin Utsatsah, karena Misthah dinilai ikut memfitnah Aisyah. Kemarahan Abu Bakar jelas bukan terhadap hal yang sepele atau remeh temeh. Itu menyangkut kehormatan istri Rasulullah SAW. Namun Allah tak ingin Abu Bakar dan kelak manusia-manusia lain berhenti melakukan kebaikan hanya karena sumpah yang terucap, yang seringnya hanya luapan emosi sesaat. Allah menurunkan surat Al-Baqarah ayat 224 -yang saya jadikan pembuka pada tulisan ini.

Setelah membaca kisah tersebut, saya jadi berfikir. Perjalanan bersama akhwat besok merupakan perjalanan yang insya Allah sarat akan kebaikan, pun keberkahan. Perjalanan tersebut insya Allah mengajak saya menjadi manusia yang lebih bertakwa, yang semoga memampukan saya melakukan perbaikan di antara manusia. Sebetulnya saya yang akan merugi bila saya masih memegang janji saya –yang hanyalah efek kecewa sesaat. Saya akan kehilangan momentum luar bisa bila tak mengikutinya, yang belum tentu akan ada lagi di lain waktu.

Yang sudah terlanjur bersumpah dengan nama Allah saja Dia larang, apalagi yang hanya sebatas gengsi?

Ya Allah, lembutkanlah hati kami.

Pesan moral : Jangan pernah membanting pintu, siapa tahu kamu harus kembali.


Malang, 24 Februari 2015     23:12




Skripsi (1)

Thursday, February 19, 2015

The moment you are ready to quit is usually the moment right before a miracle happens.
(Anonymous)

Sore itu, saya
ingat sekali hari Rabu tanggal 17 Desember 2014, saya berencana mengundurkan diri dari pengerjaan skripsi di semester 7. Saya memang sudah mengajukan topik skripsi dan sudah mendapat dosen pembimbing, tetapi belum mulai mengerjakan, hehe. Sudah beberapa kali konsultasi membawa berbagai ide ke beliau, tetapi belum matang. Saya pun memang kurang memfokuskan pikiran ke sana. Alhasil,  dengan deadline pendaftaran seminar proposal skripsi yang tersisa 2 minggu (dengan kondisi ide penelitian belum matang, proposal pun belum digarap) saya merasa tidak yakin bisa mengejar. Saya sangat menyesali waktu yang tidak saya manfaatkan dengan baik. Saya pun memutuskan untuk memilih mengerjakan skripsi di semester depan saja meskipun dengan konsekuensi harus mengganti topic dan mencari dosen pembimbing baru. Tak apalah, pikir saya. Akhirnya, di sore hari itu, saya menghadap dosen yang sebelumnya sudah ditunjuk untuk membimbing saya di semester ini untuk menyampaikan hal tersebut. Oh iya, nama beliau Achmad Efendi. Saya memanggilnya Pak Efendi.

Saya
memasuki ruangan beliau dengan agak tegang. Seperti biasa, beliau menyambut dengan sangat ramah. Jujur, senyumnya membuat niat saya untuk mengundurkan diri menjadi sedikit tergoyahkan. Kami pun duduk berhadapan, dibatasi meja kerja beliau.

Saya : Hmmm. Pak, mohon
maaf saya baru menghadap lagi.
Pak Efendi : Iya
nggak apa-apa. Anda sibuk ya?
Saya : *dalam
hati pengen nangis karena banyak menyia-nyiakan waktu*. Hehe. Enggak juga sih, Pak. PEMIRA-nya baru selesai kemarin.
Pak Efendi : Oh gitu. Selain di DPM
Anda sibuk di mana lagi?
Saya : Nggak
ada, Pak. Di kampus ini di DPM saja.
Pak Efendi : Mmmmmmm *Cuma
bergumam sambil angguk-angguk*
Kemudian kami saling
diam beberapa saat.
Saya : Pak, saya
boleh cerita gaaa? *dengan nada memelas kaya mau curhat ke sahabat*
Pak Efendi : Iya
boleh. Silakan. Ada apa?
Saya : Ngggg. Gini, Pak. Pendaftaran
sempro (seminar proposal) terakhir tanggal 31 Desember, sedangkan sekarang sudah tanggal 17 Desember. Hmmmm. Menurut Bapak, kira-kira saya bisa menyelesaikan proposal dalam waktu dua minggu itu gak?
Pak Efendi : *tersenyum bijak*. Ya bisa saja. Kenapa tidak?
Saya : Jujur, tadi sebelum masuk ruangan ini saya berfikir untuk menunda skripsi jadi semester depan aja Pak....
Pak Efendi : *tertawa*. Lho lho lho. Kenapa? Anda kok seperti hilang harapan?
Saya : *hening*
Pak Efendi : Insya Allah bisa. Kita kan masih punya waktu dua minggu. Cukup untuk mematangkan kembali ide-ide yang kemarin sudah sempat kita diskusikan. Dikerjakan saja. Nanti biar dosen penguji memberi banyak saran ketika sempro.
Saya : Hmmm. Iya deh, Pak. Saya optimis bisa. Insya Allah saya tetap lanjut mengerjakan. *suasana hati mulai membaik, baru mendapat secercah harapan*
Pak Efendi : Pengennya saya justru semua mahasiswa bimbingan saya bisa seminar proposal di semester ini, supaya semester depan bisa mulai penelitian.
Saya : Iya Pak, saya juga pengennya gitu.*senyum*
Saya : Oh iya, barusan Kurnia dan Aulia (dua teman saya yang juga dibimbing oleh beliau) juga sempat sama dengan saya, Pak. Terfikir untuk menunda skripsi ke semester depan, hehehe. *udah agak santai mood ngobrolnya*
Pak Efendi : Kalian ini kenapa sih? *tertawa heran sambil geleng-geleng kepala*
Saya : Hehehe. *Cuma bisa nyengir*
Pak Efendi : Padahal ide mereka sudah matang. Mereka sudah menyerahkan proposal ke saya. Ini. *menunjukkan proposal punya Kurnia dan Aulia*
Saya : *Cuma bergumam ooooh sambil melirik ke proposal yang udah jadi. Sebetulnya iri, wkwk*
Pak Efendi : Sampai kapanpun, pastinya akan merasa nggak siap. Yang penting dikerjakan saja. Ide akan berkembang seiring Anda mengerjakan.
Saya : Siap, Pak.
Pak Efendi : Ya sudah. Kalau Bab 1 dan Bab 3 Anda sudah selesai, hari Jum’at kita diskusi lagi.


Lalu saya keluar ruangan dengan hati yang ringan dan senyum sumringah. Sore itu, saya merasakan sekali kuasa Allah. Betapa Ia Maha Pembolak-balik hati dan keadaan. Betapa ikhtiar sangat diperlukan untuk menjemput takdir-Nya. Betapa Allah mengirimkan dosen pembimbing yang sangat baik dan suportif. Ah. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? *mau nangis*

Daaannnnn... singkat cerita, saya menghabiskan waktu dua minggu dengan sangat sibuk untuk mengerjakan proposal demi mengejar pendaftaran sempro. Tidur jam 1 malam hampir setiap hari, sering juga memilih untuk begadang semalaman suntuk lalu tidur setelah shalat subuh. Pola hidup pun agak berantakan, haha. Demi masa depan. Tanggal 31 Desember 2014 akhirnya jadwal sempro saya disetujui untuk dilakukan tanggal 12 Januari 2015. Alhamdulillah. Tanggal 1-8 Januari saya begadang lebih banyak dari yang saya lakukan selama dua minggu sebelumnya. Lagi-lagi, Alhamdulillah. Senin 12 Januari 2015 saya sudah melaksanakan berkat bantuan dan do’a dari banyak pihak. Sekarang tahap lanjut mengerjakan analisis (bab 4 dan bab 5). Mohon do’anya :D