Guru? Dosen?

Wednesday, January 25, 2012


Guru adalah orang tua kita di sekolah. Sama seperti orang tua di rumah, guru juga mempunyai rasa tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan kita dan tentunya rasa ingin melihat anak didiknya berhasil di kemudian hari. Guru begitu memanjakan dan menyayangi kita, terlihat dari sebentuk perhatian dan sebaris omelannya. Saat sedang mengecek kehadiran siswa, biasanya guru menanyakan alasan kenapa seorang siswa berhalangan hadir. Selayaknya sahabat, guru tertentu juga bisa menjadi teman curhat dan diskusi di saat kita menghadapi suatu permasalahan, tak jarang permasalahannya menyangkut orang tua kita di rumah dan bahkan rekan guru tersebut. Di bangku sekolah, kita terbiasa “disuapi” dan menunggu instruksi terlebih dahulu dari guru sebelum mempelajari sesuatu. Saking terbiasanya, bahkan kita terkesan “ogah mempelajari hal baru” selain yang diajarkan oleh sang guru di dalam kelas. Kita begitu yakin bahwa sang guru sudah menyampaikan semua hal yang seharusnya kita tahu (yang menjadi standar kompetensi pembelajaran) dan kita puas dengan itu. Tanpa sadar, kita sudah membatasi dan begitu menggantungkan “isi otak” pada satu pihak, yaitu guru.

Kenyataannya, di bangku perkuliahan, yang terjadi adalah sebaliknya. Dosen tetap memiliki tanggung jawab untuk mendidik, tetapi mereka melaksanakannya dengan cara yang berbeda. Mereka menganggap bahwa semua mahasiswa sudah dewasa, sudah tau mana yang salah dan benar, juga sudah tau apa yang seharusnya dilakukan. Tak ada pemanjaan, mungkin terkesan tak perhatian. Mereka punya kesibukan masing-masing, mulai dari membuat bahan kuliah, membuat soal ujian, mengoreksi, mengurus penelitian, menyelesaikan disertasi S3, dll. Jarang saya mendengar cerita ada dosen yang menanyakan kenapa si A tidak masuk kelas, atau kenapa si B mendapat nilai jelek saat kuis. Jarang juga saya melihat ada dosen berkumpul dengan mahasiswa, makan siang di cafetaria sambil bercerita dan tertawa bersama. Beberapa dosen mungkin tak mementingkan daftar kehadiran mahasiswa, karena yang terpenting adalah beliau sudah menunaikan tanggung jawabnya untuk memberikan kuliah. Mengenai pemahaman materi kuliah, dosen menyerahkan kepada mahasiwa, terserah mahasiswa tersebut tergerak untuk mendalami lebih lanjut ataupun tidak. Kita benar-benar dituntut untuk MANDIRI dan BERTANGGUNG JAWAB!

Tak bermaksud mengecilkan salah satu peran. Menurut saya, kedua peran tersebut sangatlah luar biasa. Mungkin karena saya masih maba, masih merindukan masa-masa dimanja di SMA ketika saya bisa dengan bebas meminta waktu kepada guru (tertentu) untuk sekadar bertanya dan bercerita, layaknya sang anak yang sedang curhat dengan orang tuanya ^_^

Aku Ingin Mencintai-Mu

Tuhan betapa aku malu
Atas semua yang Kau beri
Padahal diriku terlalu sering membuatMU kecewa
Entah mungkin karna ku terlena
Sementara Engkau beri aku kesempatan berulang kali
Agar aku kembali
Dalam fitrahku sebagai manusia
Untuk menghambakanMU
Betapa tak ada apa-apanya aku dihadapanMU
Aku ingin mencintaiMU setulusnya
Sebenar-benar aku cinta
Dalam do`a
Dalam ucapan
Dalam setiap langkahku
Aku ingin mendekatiMU selamanya
Sehina apapun diriku
Kuberharap untuk bertemu denganMU ya Rabbi
 

 ***

Nasyid milik edCoustic ini begitu menyentuh. Alunan musik dan susunan liriknya sederhana, tapi sangat indah dan “dalem” maknanya. Kali pertama saya mendengarnya, saya langsung jatuh cinta. Semakin didengarkan, semakin nyata saya merasa ada berbagai gejolak dalam dada; malu kepada Yang Maha Kuasa, sesal terhadap tingkah dan ucapan yang tak semestinya, sedih terhadap semua kelalaian dan kesia-siaan, pasrah terhadap ketidakberdayaan, syukur atas kemurahan hati-Nya, dan terlebih rasa bersalah karena mungkin selama ini saya sering melupakan-Nya.

Aku tahu. Sampai kapanpun, lupa dan khilaf akan slalu menjadi bagian dari diriku. Tetapi izinkan aku untuk senantiasa kembali ke jalanMu. Beri aku kesempatan untuk terus memperbaiki diri… Ya Rabb, ampuni aku… T.T

Sajak Ujian

Saturday, January 14, 2012

Angka yang tersebar di padang kata
Adakah selama ini aku menyusunnya?
Atau sekadar mengumpulkannya di telapak tangan terbuka?

Angka yang tersusun rapi dalam untaian kata
Adakah selama ini aku memahaminya?
Atau sebatas memindahkannya dengan pena?

Sang waktu memintaku untuk membuktikan
Awalnya aku merasa pesimis
Tapi rasa itu segera aku tepis

Perlahan muncul rasa optimis
Ketika keyakinanku akan kemudahan dari-Nya membuncah
Bergelora memenuhi langit jiwa
Membangkitkan seluruh asa

Entah kenapa aku kembali merasa pesimis
Ketika kali pertama aku berhadapan dengannya
Aku serasa dihempas dari taman surga
Terjerembah ke dalam tanah
Tak mampu bangkit
Diam tak berkutik

Aku tahu, aku sadar
Dia tak membiarkanku terus begini
Melalui esok hari, Dia memberiku kesempatan untuk bangkit kembali
Menyambut hangatnya sinar mentari
Berlari mengejar mimpi