Serdadu Kumbang dan Sekolah

Friday, April 5, 2013




Bismillah. Tadi malam saya iseng-iseng membuka folder “Movie” di laptop. Awalnya sih Cuma pengen melihat koleksi film saya yang semakin lama semakin banyak saja (?). Seharusnya folder tersebut masuk dalam kategori folder terlarang untuk dibuka di masa UTS seperti ini, hehe. Tapi dengan dalih mencari inspirasi di tengah semangat belajar yang terseok-seok (?), juga dengan menyadari realita bahwa keeseokan harinya (hari ini-red) saya tidak ada ujian, akhirnya saya memutuskan untuk menonton. Ya, menonton. Memangnya kenapa kalau menonton? *golek perkoro* :p. Tenang, saya nggak nonton film yang “aneh-aneh” kok (hei, film yang “aneh-aneh” tuh yang kaya gimana ya? Coba definisikan dan beri contoh!). Film yang beruntung pada malam itu, yang menjadi pilihan saya, adalah Serdadu Kumbang. I know it’s kinda late to watch the movie since it had been launched on 2011. Tapi, menonton film yang sudah tidak mainstream terkadang menjadi sense tersendiri bagi yang menontonnya. Whatever sense it is.

Film Serdadu Kumbang bercerita tentang anak-anak polos dengan cita-citanya, tentang kehidupan dengan problematikanya, tentang guru dengan cara mendidiknya, tentang semangat belajar, tentang sekolah dan sistem pendidikan, tentang pohon harapan, tentang hangatnya kasih sayang keluarga, tentang orang tua yang hidup terpisah jarak, tentang menyayangi binatang, tentang indahnya alam Sumbawa, juga tentang jam tangan Rolex dan kepalsuannya (?). Film ini menyisipkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kepatuhan pada orang tua dan guru, juga keuletan untuk meraih cita. Really form a struggling mentality.  Jujur saja, menonton film ini membuat saya rindu dengan masa-masa di sekolah dulu. Teman-teman, suasana, dan semangat belajarnya itu lho, ngangenin banget. Dulu saya senang sekali belajar (?), apalagi belajar kelompok. Alhamdulillah saya punya teman-teman yang se-visi, yang enak diajak belajar bareng, yang saling mengajak dan menasihati (terutama kalo lagi males). Belajar jadi serasa bermain dan kongkow-kongkow *laaaaah*, tanpa mengurangi esensi dari belajar itu sendiri :P. Terus juga kangen dengan model pelajaran di sekolah yang menekankan pada latihan, bukan analisis. Wkwkwkwk.

Terus jadi ingat dengan masa-masa menjelang UAN, di mana orang tua dan semua guru memompa semangat untuk belajar lebih keras, memberi motivasi untuk lulus, meyakinkan bahwa kehidupan setelahnya akan lebih indah. Ada adegan yang membuat saya sedikit senyum-senyum, yaitu ketika ayah dari dua orang anak menaburkan semacam jimat di depan kelas tepat jam 12 malam sebelum UAN keesokan harinya. Hahaha. Ya, setiap orang melakukan upaya yang menurut masing-masing bisa “meluluskan” dari UAN, dan ternyata tak sedikit yang masih menempuh upaya “seperti itu” :p. Ah, masa-masa menjelang UAN memiliki kesan tersendiri bagi saya, apalagi saat itu kan semangat belajar dan cita-cita kita sedang tinggi-tingginya :)

Oh iya, jadi teringat cita-cita, terlebih saat adegan anak-anak menggantungkan kertas bertuliskan cita-cita mereka di pohon harapan. Masih adakah cita-cita itu dalam benak dan pikiran kita? Masihkah ia menjadi penyemangat untuk terus bergerak? Bukankah dulu kita mencita-citakannya dan meyakini, dengan tingkat optimisme yang tertinggi, bahwasanya kelak Allah akan mengabulkan? Go confidently with the direction of our dreams! Tetap semangat, bekerja, dan terus berdo’a. ;)

Last but not least, saya suka sekali film-film sejenis Serdadu Kumbang, Laskar Pelangi, Tanah Surga Katanya, dll, yang mostly bercerita tentang kisah pendidikan di pedalaman sana. Melihat antusias para bocah untuk menuntut ilmu, meskipun dalam film, membuat saya jadi malu sendiri. Bayangkan, sosok Lintang (Laskar Pelangi) rela bersepeda berpuluh-puluh kilometer jauhnya hanya untuk sekolah (catat : gowes sepeda ontel lho, bukan mengendarai sepeda motor). Ditambah lagi, fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar di sana yang mungkin masih belum semodern di kota-kota besar sama sekali tak menyurutkan semangatnya. Tertohok banget melihat adegan dia lagi belajar di heningnya dini hari, ditemani remangnya cahaya lilin. Padahal di kehidupan kita yang sekarang, yang segalanya serba tersedia (sekolah super nyaman dengan kelas ber-AC, guru-guru lulusan perguruan tinggi terkemuka, internet, buku, jurnal, dll), malah belum kita manfaatkan secara optimal. Memang eranya beda sih, hanya saja menurut saya antusias dari Lintang itu yang patut kita tiru. Bangun dini hari meninggalkan hangatnya selimut dan empuknya kasur untuk bermunajat sekaligus belajar, bukankah itu sesuatu yang “wow” bila kita mampu melakukannya? :D

Huaaaaaah. Lumayan menjadi pelepas kerinduan akan masa sekolah :’’)



High School never ends.


Malang, 5 April 2013   07:00

0 comments:

Post a Comment