Tak
terasa, sudah lebih dari satu tahun saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa.
Bukan mahasiswa yang kuliah di universitas dekat rumah ataupun di provinsi
sebelah, melainkan mahasiswa yang merantau dari ujung barat pulau Jawa (Banten)
ke provinsi di ujung timur pulau Jawa (Jawa Timur). Jarak tersebut mungkin
bukanlah apa-apa, masih banyak yang merantau lebih jauh daripada saya. Pada
awalnya saya tak pernah berpikiran untuk kuliah sejauh itu, toh di Jakarta dan Jawa Barat banyak
universitas yang kualitas dan namanya sudah tersohor di seantero negeri. Orang
tua saya pun awalnya keberatan, namun akhirnya mereka rela melepas anak
gadisnya pergi mengejar cita.
Bulan
September 2011 merupakan momentum dimulainya kehidupan baru saya, tepatnya
sebagai mahasiswa sekaligus anak rantau. Tentunya ada banyak perbedaan ketika
dulu terbiasa berada di tengah hangatnya keluarga, namun kini harus terpisah
beratus-ratus kilometer jauhnya. Mulai dari aspek kemandirian, kedisiplinan,
sampai ke manajemen keuangan. Menjadi anak kosan menuntut kita untuk mandiri di
segala hal, seperti mencuci piring dan pakaian, menyeterika, membersihkan kamar
tidur dan kamar mandi, memasak, memasang paku di dinding, mengangkat galon air
minum ke kamar di lantai atas, atau bahkan mengganti lampu di langit kamar.
Terlebih ketika kita ingin menjadi mahasiswa yang tak berorientasi pada studi
saja. Amanah utama kita dari orang tua memang untuk kuliah, tetapi tak ada
salahnya jika ingin terlibat di kegiatan intra ataupun ekstra kampus.
Berorganisasi bahkan sangat dianjurkan agar softskill
kita berkembang. Di organisasi, secara perlahan, kita belajar bagaimana memanajemen
diri dan waktu untuk menjaga agar aktivitas tetap seimbang. Kuncinya adalah kemauan
dan kedisiplinan.
Ada
kenikmatan sekaligus amanah tersendiri yang saya rasakan selama menjadi anak
rantau, yaitu kebebasan. Di sini yang saya maksud adalah kebebasan untuk
memilih aktivitas (yang positif dan bermanfaat) dan mempertanggungjawabkan
konsekuensinya. Disadari atau tidak, orang tua kita pasti menaruh harapan yang
begitu besar bahwa kepergian anaknya ke tanah rantau memang bukan untuk sesuatu
yang sia-sia. Mereka begitu percaya untuk melepas kita, karena yakin kita sudah
dewasa dan mampu mengambil keputusan berdasarkan logika, bukan emosi semata. Dengan
merantau pula pendewasaan diri kita akan terakselerasi secara nyata. Apa
jadinya bila kepercayaan tersebut kita khianati begitu saja? Tegakah
menghancurkan perasaan dan memupuskan harapan orang tua kita untuk bisa melihat
anaknya menjadi sarjana?
Satu
kenyataan yang tak bisa dipungkiri, tak semua orang bisa mendapat kesempatan
langka ini. Ya, diizinkan merantau
sebenarnya termasuk salah satu nikmat yang harus kita syukuri. Coba sejenak
lihat teman-teman kita, banyak di antara mereka yang bukan main susahnya untuk mendapat izin mendaftar kuliah ke luar
kota. Sedangkan kita, diberi kebebasan untuk merantau ke manapun yang kita
suka, bahkan tak apa bila harus pergi ke benua tetangga. Hendaknya kesempatan
ini kita manfaatkan sebaik mungkin agar diri kita bermanfaat bagi keluarga,
lingkungan, bangsa, dan agama =)
Malang, 5 November 2012 20:07
-di tengah kecamuk perasaan ingin merantau lebih jauh lagi :p-
0 comments:
Post a Comment