Refleksi Merantau

Friday, January 17, 2014



                Tak terasa, sudah lebih dari satu tahun saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Bukan mahasiswa yang kuliah di universitas dekat rumah ataupun di provinsi sebelah, melainkan mahasiswa yang merantau dari ujung barat pulau Jawa (Banten) ke provinsi di ujung timur pulau Jawa (Jawa Timur). Jarak tersebut mungkin bukanlah apa-apa, masih banyak yang merantau lebih jauh daripada saya. Pada awalnya saya tak pernah berpikiran untuk kuliah sejauh itu, toh di Jakarta dan Jawa Barat banyak universitas yang kualitas dan namanya sudah tersohor di seantero negeri. Orang tua saya pun awalnya keberatan, namun akhirnya mereka rela melepas anak gadisnya pergi mengejar cita.
                Bulan September 2011 merupakan momentum dimulainya kehidupan baru saya, tepatnya sebagai mahasiswa sekaligus anak rantau. Tentunya ada banyak perbedaan ketika dulu terbiasa berada di tengah hangatnya keluarga, namun kini harus terpisah beratus-ratus kilometer jauhnya. Mulai dari aspek kemandirian, kedisiplinan, sampai ke manajemen keuangan. Menjadi anak kosan menuntut kita untuk mandiri di segala hal, seperti mencuci piring dan pakaian, menyeterika, membersihkan kamar tidur dan kamar mandi, memasak, memasang paku di dinding, mengangkat galon air minum ke kamar di lantai atas, atau bahkan mengganti lampu di langit kamar. Terlebih ketika kita ingin menjadi mahasiswa yang tak berorientasi pada studi saja. Amanah utama kita dari orang tua memang untuk kuliah, tetapi tak ada salahnya jika ingin terlibat di kegiatan intra ataupun ekstra kampus. Berorganisasi bahkan sangat dianjurkan agar softskill kita berkembang. Di organisasi, secara perlahan, kita belajar bagaimana memanajemen diri dan waktu untuk menjaga agar aktivitas tetap seimbang. Kuncinya adalah kemauan dan kedisiplinan.
                Ada kenikmatan sekaligus amanah tersendiri yang saya rasakan selama menjadi anak rantau, yaitu kebebasan. Di sini yang saya maksud adalah kebebasan untuk memilih aktivitas (yang positif dan bermanfaat) dan mempertanggungjawabkan konsekuensinya. Disadari atau tidak, orang tua kita pasti menaruh harapan yang begitu besar bahwa kepergian anaknya ke tanah rantau memang bukan untuk sesuatu yang sia-sia. Mereka begitu percaya untuk melepas kita, karena yakin kita sudah dewasa dan mampu mengambil keputusan berdasarkan logika, bukan emosi semata. Dengan merantau pula pendewasaan diri kita akan terakselerasi secara nyata. Apa jadinya bila kepercayaan tersebut kita khianati begitu saja? Tegakah menghancurkan perasaan dan memupuskan harapan orang tua kita untuk bisa melihat anaknya menjadi sarjana?
                Satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri, tak semua orang bisa mendapat kesempatan langka ini. Ya,  diizinkan merantau sebenarnya termasuk salah satu nikmat yang harus kita syukuri. Coba sejenak lihat teman-teman kita, banyak di antara mereka yang bukan main susahnya untuk mendapat izin mendaftar kuliah ke luar kota. Sedangkan kita, diberi kebebasan untuk merantau ke manapun yang kita suka, bahkan tak apa bila harus pergi ke benua tetangga. Hendaknya kesempatan ini kita manfaatkan sebaik mungkin agar diri kita bermanfaat bagi keluarga, lingkungan, bangsa, dan agama =)


Malang, 5 November 2012      20:07
-di tengah kecamuk perasaan ingin merantau lebih jauh lagi :p-
               



0 comments:

Post a Comment